.......................................Subhanallah..................................
Other Link
Senin, 26 November 2012
Minggu, 25 November 2012
Islam Itu Eksklusif, Toleran dan Membahagiakan
Oleh: Nuim Hidayat
“Barat tempatmu bergantung,
Telah menipu otakmu dan menyihir jiwamu
Barat tempatmu bergantung telah menipu dirimu
Sekali dengan bujuk halus dan rayuan
Sekali dengan belenggu dan jeratan”
(Mohammad Iqbal)
Akhir-akhir ini berkembang (dikembangkan) pemahaman-pemahaman Islam yang membingungkan. Muncul sebuah istilah yang sepintas lalu seolah-olah benar, padahal mempunyai makna yang salah atau kacau. Misalnya istilah Islam Anti Kekerasan, Islam Membebaskan, Islam Inklusif dan lain-lain. Kemunculan istilah ini dipahami sebagian kalangan Islam sebagai propaganda Barat untuk memecah belah umat Islam. Sementara sebagian yang lain menganggap hal itu adalah sebagai khazanah umat Islam atau wacana kebebasan Islam.
Untuk memahami istilah ini perlu perenungan yang mendalam terhadap kebenaran istilah ini karena penggunaan istilah ini seringkali digunakan kalangan tertentu (biasanya didukung para orientalis) untuk merendahkan atau member stigma kepada kelompok Islam lainnya. Sehingga dikampanyekan istilah-istilah Islam Garang, Islam yang membelenggu, Islam Radikal, Islam Garis Keras, Islam Militan dan semacamnya.
Kita akan menelisik beberapa istilah yang membingungkan itu. Penggunaan Islam anti kekerasan misalnya, sebenarnya sangat tidak tepat karena Islam kenyataannya mengajarkan kekerasan, contohnya ajaran jihad dalam Islam. Seperti kita ketahui, jihad diwajibkan ketika sebuah wilayah kaum Muslimin dijajah, penduduknya diusir atau dianiaya. Maka penggunaan kekerasan dengan fisik (jihad) melawan ‘penzalim’ dalam Islam bukan saja dibolehkan bahkan wajib dilakukan. Contohnya kewajiban jihad penduduk Palestina kepada Israel atau penduduk Islam Maluku dan sekitarnya Ketika mereka diserang kaum Nashrani bulan Januari 1999. Begitu juga kaum Muslimin di Irak, Moro, Pattani, Chechnya, Bosnia, Afghanistan dan lain-lain yang diserang secara militer (fisik) oleh penguasa-penguasa kafir. Begitu juga Bapak diperbolehkan menggunakan ‘kekerasan’ kepada anaknya ketika usianya 10 tahun tetap bandel tidak mau shalat. Jadi Islam bukanlah anti kekerasan, tapi Islam mengatur kekerasan sebagaimana hukum-hukum lain yang ada di dunia ini juga mengatur penggunaan kekerasan.
Sangat tidak lucu bila sebuah masyarakat yang penduduknya diperangi, mereka kemudian berdiam diri tidak mengadakan pembalasan yang setimpal. Dalam hal ini perlu diteladani ketika ulama besar India, Abul Hasan an Nadwi mengritik keras gerakan tokoh anti kekerasan Mahatma Gandi di India. Kata Nadwi,”Seruan Gandhi tak lebih dari debu tak berarti di tengah bentrokan-bentrokan antar golongan yang hebat di Punjab Timur dan New Delhi bulan September 1947, yang meminta korban lebih dari setengah juta jiwa kaum Muslimin melayang dalam pembantaian kejam dan biadab…Semua kegagalan Gandhi ini menunjukkan bahwa cara perbaikan masyarakat yang diserukan Nabi adalah cara yang tepat, sesuai dengan naluri manusia.” (an Nadwi, 1988: 126-127).
Dalam ilmu politik Barat, kekerasan atau perang itu justru harus dipersiapkan agar masyarakat dapat damai. Dalam teori “Balance of Power”, seperti pendapat pakar politik J Morgenthau, dikatakan bahwa Negara-negara di dunia ini bila ingin damai harus membuat kekuatan militer yang seimbang. Dengan keseimbangan kekuatan militer (perang) itu, Negara yang satu akan berpikir ulang untuk melakukan invasi (menzalimi) Negara lain secara semena-mena. Perang seringkali terjadi karena ada anggapan bahwa kekuatan militer yang lain dianggap tidak seimbang (lebih lemah). Di sini kita lihat bagaimana liciknya politik Amerika yang tidak mau keseimbangan nuklir terjadi di dunia (khususnya Negara-negara Islam).
Kita melihat juga dalam sejarah manusia perang/’kekerasan liar’ –sebagaimana kejahatan kejahatan (setan)- tidak pernah berhenti. Benarlah firman Allah SWT:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (al Baqarah 216)
Dalam sejarah Nabi Muhammad saw kita melihat bagaimana beliau dan sahabat-sahabatnya puluhan kali berperang dengan kaum kafir yang menzalimi umat Islam. Karena itu, Rasulullah dalam beberapa hadits, menganjurkan umatnya agar belajar latihan perang, seperti berkuda (berkendaraan), memanah (menembak) dan berenang. Banyak juga ayat Al Qur’an dan Hadits yang memberikan teladan tentang aturan-aturan perang (pembunuhan).
Di sisi lain, ketika Islam begitu bersemangat mengajarkan jihad dan peperangan, di saat yang sama Islam juga sangat menganjurkan perdamaian atau toleransi. Rasulullah mengajarkan bila orang-orang kafir tidak menzalimi umat Islam atau tidak melakukan peperangan, maka umat Islam juga siap berdamai. Dalam sejarah, kita baca tentang berbagai perjanjian damai yang dibuat beliau, seperti Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah dan lain-lain.
Nabi terakhir ini juga mengajarkan toleransi yang tinggi kepada umatnya. Banyak hadits menceritakan tentang kunjungan Nabi saw kepada orang Yahudi ketika sakit, bersedianya Nabi makan di rumah orang kafir, sedekah Nabi kepada tetangganya yang kafir dan lain-lain. Toleransi (tasamuh) yang tinggi umat Islam itu telah ditorehkan sejarah islam, termasuk dalam sejarah Perang Salib sebagaimana dinyatakan sejarawan Karen Armstrong. Kita melihat juga Al Qur’an sangat melarang pembunuhan kepada manusia tanpa alasan yang benar. Firman Allah SWT:
“…barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia…” (al Maidah 32)
Jadi sifat keras dan halus secara bersama-sama diajarkan Islam. Disinilah justru letak keistimewaan atau keeksklusifannya. Islam secara bersama-sama mengajarkan kekerasan dan perdamaian. Tergantung situasi yang dihadapinya. Seorang Muslim akan kelihatan radikal militant, atau garang ketika islam atau umat Islam dizalimi musuhnya. Ia akan kelihatan toleran atau halus, ketika menjenguk temannya non Islam yang sakit. Akan kelihatan lebih “halus lagi”, ketika ia tunduk serendah-rendahnya, bersujud shalat tahajud kepada Rabbnya di malam hari atau air matanya meleleh deras ketika mendengar ayat-ayat tertentu dalam Al Qur’an.
Istilah lain yang cukup menganggu adalah istilah islam yang membebaskan. Bila kita merenung dan mengkaji secara mendalam terhadap Islam, maka Islam sebenarnya secara bersama-sama membebaskan dan mengikat pemeluknya. Islam memang membebaskan berfikir bagi manusia, selama pemikirannya tidak menyimpang dari aturan Allah (dari nash-nash Al Qur’an dan Hadits yang qath’i). Islam membebaskan manusia berkreasi seluas-luasnya dalam ilmu dan teknologi. Islam juga mengharapkan kemandirian manusia, membebaskan manusia dari ketundukan atau ‘perbudakan’ manusia lainnya karena berprinsip ketundukan hanyalah kepada Allah yang menciptakannya.
Tapi tidak dipungkiri, Islam juga mengikat seorang Muslim dengan kewajiban shalat, puasa, zakat, menutup aurat dan lain-lain. Hal ini sebenarnya logis, sebagaimana juga hukum-hukum manusia selain memberikan kebebasan juga membuat aturan-aturan baik individu maupun masyarakat. Bahkan kadang lebih “ketat” lagi seperti kita lihat sekarang aturan penghormatan bendera, protokoler presiden/menteri, aturan memakai seragam/helm dan lain-lain. Dalam menghukum, seringkali ‘hukum manusia’ lebih ganas dan tidak adil, pencuri 10 juta (motor) dibakar hidup-hidup, sedangkan pencuri trilyunan rupiah dibebaskan berkeliaran bahkan diberi tambahan modal baru.
Kelebihan Islam, aturan-aturannya mengandung butir-butir hikmah yang besar bagi manusia. Para ulama banyak menulis kitab tentang hikmah-hikmah positif syariat Islam itu: hikmah shalat, hikmah menutup aurat, hikmah puasa, hikmah hukum qishash dan lain-lain. Dengan kata lain, ketika seorang Muslim menjalan aturan Islam (syariat Islam), ia tidak merasa dibelenggu sebagaimana menjalankan banyak hukum manusia. Justru ia merasa tentram atau tenang karena ia menjalankan aturan-aturan dari Sang Pencipta dan Sang Maha Tahu.
Al Quran sendiri dengan teks yang jelas, member kebebasan bagi seorang manusia, mau menjadi Muslim atau menjadi kafir. Masing-masing dengan konsekuensinya. Al Quran menegaskan bila seorang menjadi Muslim maka akan masuk surga dan bila ia memilih kafir maka ia akan masuk neraka di akhirat nanti. Dan Allah SWT tidak akan menzalimi hamba-Nya.
Kata-kata kebebasan –yang dipropagandakan Barat untuk melawan keterikatan kepada agama- memang seolah-olah indah dan di dalam katanya mengandung makna kebahagiaan. Tapi benarkah ideology kebebasan secara otomatis akan membahagiakan manusia? Kenyataannya justru sebaliknya. Kebebasan (Barat) justru membawa banyak kesengsaraan manusia lainnya. Misalnya kebebasan seks, berselingkuh dan ‘hidup bebas tanpa nikah’, homoseksual, ternyata menyebabkan kesengsaraan dan kehancuran rumah tangga, liarnya kehidupan remaja, merebaknya penyakit aids, hilangnya kepekaan social dan lain-lain. Kebebasan pergaulan menyebabkan anak kena narkoba dan tawuran. Kebebasan minuman beralkohol menyebabkan kerusakan otak dan akhlak. Kebebasan internet menyebabkan banyak remaja kecanduan games dan pornografi.
Kebebasan perdagangan yang dipropagandakan Barat malah justru merugikan atau kadang ‘memeras’ kekayaan negara berkembang, menghambat kemakmuran negara berkembang dan memperbanyak kematian penduduk negara-negara miskin karena kelaparan dan lain-lain. Kebebasan memelihara anjing yang berlebihan menyebabkan orang-orang di Barat lebih semangat mengeluarkan uang untuk makanan dan kesehatan anjing daripada mengeluarkan bantuan untuk orang-orang miskin di negara-negara berkembang. Kita menyaksikan bagaimana kebebasan mode berpakaian justru mengakibatkan banyaknya pelacuran. Banyak anak gadis melacur untuk mendapatkan uang sekedar untuk membeli mode pakaian terbaru, handphone dan hiburan-hiburan kebahagiaan semu. Di samping itu juga pikiran mereka menjadi terbelenggu (tidak nyaman) karena selalu dituntut tampil ke publik harus cantik fisik selaras dengan dikampanyekannya fashion show atau tepatnya body show.
Pertanyaannya, manakah yang dicari manusia (Muslim) sebenarnya, kebebasan atau kebahagiaan? Jawabannya tentu dalam hidup ini manusia mencari kebahagiaan. Kebebasan kadang menjadi sarana dan kadang jadi penghambat. Oleh karena itu yang tepat Islam itu menentramkan atau membahagiakan manusia bukan membebaskan manusia. Jadi kebebasan itu ternyata tidak selamanya membuat manusia menjadi tenteram atau bahagia, malah seringkali membuat manusia menjadi sengsara.
Kita dapati dalam sejarah banyak ulama yang dipenjara, dibelenggu kebebasannya, tapi hidupnya tetap tenang dan tenteram. Ibnu Taimiyah, Sayid Qutb dan Hamka mengukir karya-karya besarnya ketika berada di terali besi.
Setelah meneliti berbagai pendapat filosof tentang arti bahagia, Ulama Besar Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), menyatakan bahwa manusia berbeda-beda dalam memimpikan kebahagiaan. Si miskin menganggap si kaya yang bahagia. Orang bodoh menganggap si Pintar yang bahagia. Orang bujang memimpi orang nikah bahagia. Tapi kenyataannya tidak demikian. Kadang si kaya melihat si miskin yang bahagia. Ia merasa tidak bahagia karena selalu khawatir hartanya dirampas orang. Orang yang menikah merasa tidak bahagia karena waktunya terbelenggu keluarganya dan seterusnya. Maka dari itu, Buya Hamka menasihatkan,”Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka. Oleh agama, perjalanan bahagia itu telah diberi berakhir. Puncaknya yang penghabisan ialah kenal akan Tuhan, baik makrifat kepadaNya, baik taat kepadaNya dan baik sabar atas musibahNya. Tidak ada lagi hidup di atas itu.”
Hal itu senada dengan firman Allah SWT,
“Dan barangsiapa menaati Allah dan RasulNya, maka sungguh dia menang dengan kemenangan yang agung (kebahagiaan di atas kebahagiaan).” (al Ahzab 71).
Walhasil ada udang dibalik batu dalam sebuah istilah. Dan jangan terbujuk dengan ‘kehalusan politik bahasa’.Wallaahu a’lam.
Senin, 19 November 2012
Rabu, 14 November 2012
Diamnya Wanita
Wanita itu Diamnya
WANITA adl makhluk yg pandai menyimpan perasaen,
DIAMnya adl perasaan CINTA yg menyimpan ketulusan, menjaga ketulusan, menjaga kesucian hati dan ingin membingkai dlm ikatan suci..
Tidak boleh dinikahkan perempuan janda sehingga ia diajak musyawarah,,
dan tidak boleh dinikahkan gadis sehingga diminta izinnya,
mereka b'tanya "Ya Rosulullah lalu bgaimana izinnya"
Rosulullah menjawab "ia diam" (HR.BUKHORI)
AISYAH ra pun pernah menuturkan "Ya Rosulullah gadis perawan tu biasanya pemalu"
Rosulullah menjawab "sukanya adl diamnya" (HR.BUKHORI)
source: http://titisanyessty.blogspot.com/2012/06/wanita-itu-diamnya.html
Diam bisa berarti tidak berbicara atau bersuara atau tidak berbuat atau bergerak. Dalam tulisan ini, diam yang dimaksud adalah dalam pengertian pertama, yakni tidak berbicara atau tidak mengemukakan pernyataan dalam bentuk bahasa lisan. Padanannya adalah as-sumtdalam bahasa Arab atau silence dalam bahasa Inggris.
Diam adalah gejala fisik atau jasmaniah. Namun ia didorong atau dimotivasi oleh, dan bahkan merupakan manifestasi dari gejala kejiwaan orang yang bersangkutan. Karena itu untuk mengetahui motif-motif maupun maknanya perlu ditelusuri dan diteliti faktor-faktor kejiwaan yang melatarbelakanginya. Dengan perkataan lain, penelusuran dan penelitian itu dimaksudkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, ‘Mengapa orang yang bersangkutan diam?’
Namun penelitian-penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan tersebut, ternyata, tidak selamanya dapat memberikan jawaban yang akurat terhadap pertanyaan di atas. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh adanya kecenderungan setiap individu untuk merahasiakan atau menutup-nutupi hal-hal yang sebenarnya, karena alasan-alasan atau kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat sangat pribadi. Karena itu, berbeda dengan penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan yang mendorong seseorang untuk berbicara atau mengemukakan pernyataan, di sini diperlukan kecermatan yang relatif lebih tinggi.
Selain itu, faktor-faktor non-kejiwaan pun sering ikut berperan, terutama yang berkaitan dengan pemuasan atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisik-material ataupun sosial, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Itulah sebabnya sering kita dapati orang yang tidak mengemukakan pendapat atau diam karena dia merasa bahwa tindakan atau sikapnya itu ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.
Bahasa Isyarat
Di lihat dari satu sisi, diam bisa dimasukkan dalam kategori bahasa isyarat (gesture) atau alat komunikasi, sehingga karenanya ia memiliki makna. Namun berbeda dengan bahasa lisan maupun tulisan, makna diam ini tidak jelas dan cenderung berbeda-beda. Sekedar contoh dapat dikemukakan tentang diamnya seorang gadis di zaman Nabi Muhammad saw. ketika ditanya oleh ayah atau walinya, apakah dia setuju dinikahkan dengan seseorang calon suami tertentu. Berdasarkan hadis yang dituturkan oleh Jama‘ah selain Bukhari dari Ibnu ‘Abbas, Nabi Muhammad bersabda: “Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis dapat memberi pesetujuan atas dirinya, dan persetujuan itu adalah diamnya” (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, 6: 14-15).
Dari hadis tersebut jelas bahwa diamnya gadis itu berarti persetujuannya. Yang menjadi masalah adalah, apakah makna diam yang berlaku di kalangan bangsa Arab pada masa Nabi itu masih dianggap valid dan berlaku dalam masyarakat dan bagi gadis-gadis sekarang yang relatif lebih “berani” mengemukakan pendapat. Dalam kaitan ini, barangkali kita bisa berbeda pendapat dan bahkan berdebat berkepanjangan. Namun yang jelas, begitulah makna diamnya gadis di zaman Rasul ketika ditanya oleh ayah atau walinya mengenai calon suami pilihan ayah atau walinya itu.
Menurut pendapat saya, diam di luar konteks hadis tersebut di atas tidak selalu berarti setuju. Sebab diamnya seseorang mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan orang yang bersangkutan dan mungkin juga oleh faktor-faktor kejiwaan yang memberatkan orang tersebut untuk berbicara, seperti perasaan takut, merasa terpaksa, cemas, frustrasi dan sebagainya. Karena itu untuk mengetahui makna sebenarnya dari diamnya orang tersebut perlu dilakukan penelusuran dan penelitian secara cermat terhadap faktor-faktor kejiwaan tersebut. Bila ternyata diamnya seseorang itu disebabkan oleh ketiaktahuannya, berarti diam itu bermakna netral: bukan setuju dan juga bukan tidak setuju.
Sebaliknya, bila diamnya itu disebabkan oleh perasaan takut, terancam, tertekan, terpaksa dan sebagainya, berarti diam itu bermakna penolakan atau ketidaksetujuan secara tidak terang-terangan. Bila kesimpulan ini dapat dibenarkan, maka konsep ijma‘ sukuti dalam agama Islam yang diartikan sebagai kesepakatan atau persetujuan terhadap kondisi atau pendapat yang ditawarkan perlu dipertanyakan. Menurut saya, hal itu tak ubahnya seperti silent public opinion dalam masyarakat yang sebenarnya sarat dengan perbedaan-perbedaan pendapat tetapi tidak muncul ke permukaan karena adanya kendala-kendala kejiwaan yang memaksa orang-orang untuk diam atau tidak bersuara.
Dari sisi lain, apakah sikap diam dalam konteks ijma’ sukuti, silent public opinion, dan sebagainya itu bisa diartikan sebagai ketidakjujuran atau bahkan kebohongan terselubung, barangkali perlu ditelaah lebih lanjut, setidak-tidaknya melalui wawancara individual atau, lebih baik lagi, melalui tatap muka empat mata, yang relatif lebih jujur dan tidak bersifat memaksa atau menyudutkan.
Diam dalam Islam
Islam memang tidak secara eksplisit mewajibkan atau mengharamkan orang untuk berbicara ataupun diam. Yang jelas Islam melarang orang untuk berkata bohong atau mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat, walaupun hanya sekedar bercanda atau untuk memancing tawa orang. Menurut Nabi Muhammad, berkata bohong adalah salah satu tanda kemunafikan. Karenanya Nabi Muhammad saw. menyuruh umatnya untuk berbicara yang baik dan jujur atau diam saja.
Namun demikian dalam konteks yang berbeda Nabi Muhammad “agak mencela” sikap diam umatnya, terutama dalam dua hal: (1) dalam menghadapi penguasa yang lalim, dan (2) dalam menghadapi kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat. Nabi Muhammad menyatakan bahwa berbicara jujur di depan penguasa yang lalim adalah jihad paling berat, karenanya dalam hal ini umat Muslim tidak boleh diam saja. Sedangkan sikap diam umat terhadap kemungkaran beliau nilai sebagai indikasi bahwa iman mereka paling lemah.
Tiga Hikmah
Hasan Muhammad asy-Syarqawi, salah seorang pakar psikologi agama, dalam bukunya Nahwa ‘Ilmin-Nafsil-Islami (1979: 190), menyatakan bahwa ucapan dapat menjerumuskan orang ke dalam neraka, tetapi bila ucapannya baik justeru akan mengantarkannya ke surga. Hal itu tergantung pada baik-buruknya hati orang yang mengucapkannya itu. Bila hatinya baik, maka ucapannya pun akan baik, sebaliknya, bila hatinya buruk mata kata-kata yang diucapkannya pun akan buruk. Karenanya, menurut Asy-Syarqawi, diam itu sarat dengan hikmah; terutama dalam tiga hal: (1) sebagai jalan menuju kesehatan jiwa, (2) kesempurnaan akhlak, dan (3) kesempurnaan kemanusiaan. Melalui diam, orang dapat membersihkan batinnya dari berbagai nafsu dan penyakit kejiwaan, dan menghiasinya dengan berbagai hakikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan menyempurnakan sopan santun dalam peribadatannya. Demikian Asy-Syarqawi.
Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa berbicara dalam Islam tidak dilarang bahkan dalam kasus-kasus tertentu justeru dianjurkan, Namun pembicaraan yang diperbolehkan oleh Islam hanyalah pembicaraan yang baik-baik saja, bermanfaat dan tidak mengandung kebohongan. Setiap Muslim wajib menjaga lidahnya agar tidak terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak baik, dan salah satu upaya untuk menjaga lidah adalah diam, meskipun dalam beberapa hal tertentu diam itu kurang disenangi oleh Islam.***
source : http://purnomotunggul.blogspot.com/p/islam.html
Ada pemetaan menarik yang dibuat oleh Ibn Rusyd tentang perbedaan pendapat ulama tentang kebebasan wanita dalam memilih pasangan yang dapat dirinci sebagai berikut:[1]
Oleh Machnun Husein
Diam bisa berarti tidak berbicara atau bersuara atau tidak berbuat atau bergerak. Dalam tulisan ini, diam yang dimaksud adalah dalam pengertian pertama, yakni tidak berbicara atau tidak mengemukakan pernyataan dalam bentuk bahasa lisan. Padanannya adalah as-sumtdalam bahasa Arab atau silence dalam bahasa Inggris.
Diam adalah gejala fisik atau jasmaniah. Namun ia didorong atau dimotivasi oleh, dan bahkan merupakan manifestasi dari gejala kejiwaan orang yang bersangkutan. Karena itu untuk mengetahui motif-motif maupun maknanya perlu ditelusuri dan diteliti faktor-faktor kejiwaan yang melatarbelakanginya. Dengan perkataan lain, penelusuran dan penelitian itu dimaksudkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, ‘Mengapa orang yang bersangkutan diam?’
Namun penelitian-penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan tersebut, ternyata, tidak selamanya dapat memberikan jawaban yang akurat terhadap pertanyaan di atas. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh adanya kecenderungan setiap individu untuk merahasiakan atau menutup-nutupi hal-hal yang sebenarnya, karena alasan-alasan atau kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat sangat pribadi. Karena itu, berbeda dengan penelitian terhadap faktor-faktor kejiwaan yang mendorong seseorang untuk berbicara atau mengemukakan pernyataan, di sini diperlukan kecermatan yang relatif lebih tinggi.
Selain itu, faktor-faktor non-kejiwaan pun sering ikut berperan, terutama yang berkaitan dengan pemuasan atau pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisik-material ataupun sosial, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya. Itulah sebabnya sering kita dapati orang yang tidak mengemukakan pendapat atau diam karena dia merasa bahwa tindakan atau sikapnya itu ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.
Bahasa Isyarat
Di lihat dari satu sisi, diam bisa dimasukkan dalam kategori bahasa isyarat (gesture) atau alat komunikasi, sehingga karenanya ia memiliki makna. Namun berbeda dengan bahasa lisan maupun tulisan, makna diam ini tidak jelas dan cenderung berbeda-beda. Sekedar contoh dapat dikemukakan tentang diamnya seorang gadis di zaman Nabi Muhammad saw. ketika ditanya oleh ayah atau walinya, apakah dia setuju dinikahkan dengan seseorang calon suami tertentu. Berdasarkan hadis yang dituturkan oleh Jama‘ah selain Bukhari dari Ibnu ‘Abbas, Nabi Muhammad bersabda: “Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis dapat memberi pesetujuan atas dirinya, dan persetujuan itu adalah diamnya” (Lihat Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah, 6: 14-15).
Dari hadis tersebut jelas bahwa diamnya gadis itu berarti persetujuannya. Yang menjadi masalah adalah, apakah makna diam yang berlaku di kalangan bangsa Arab pada masa Nabi itu masih dianggap valid dan berlaku dalam masyarakat dan bagi gadis-gadis sekarang yang relatif lebih “berani” mengemukakan pendapat. Dalam kaitan ini, barangkali kita bisa berbeda pendapat dan bahkan berdebat berkepanjangan. Namun yang jelas, begitulah makna diamnya gadis di zaman Rasul ketika ditanya oleh ayah atau walinya mengenai calon suami pilihan ayah atau walinya itu.
Menurut pendapat saya, diam di luar konteks hadis tersebut di atas tidak selalu berarti setuju. Sebab diamnya seseorang mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan orang yang bersangkutan dan mungkin juga oleh faktor-faktor kejiwaan yang memberatkan orang tersebut untuk berbicara, seperti perasaan takut, merasa terpaksa, cemas, frustrasi dan sebagainya. Karena itu untuk mengetahui makna sebenarnya dari diamnya orang tersebut perlu dilakukan penelusuran dan penelitian secara cermat terhadap faktor-faktor kejiwaan tersebut. Bila ternyata diamnya seseorang itu disebabkan oleh ketiaktahuannya, berarti diam itu bermakna netral: bukan setuju dan juga bukan tidak setuju.
Sebaliknya, bila diamnya itu disebabkan oleh perasaan takut, terancam, tertekan, terpaksa dan sebagainya, berarti diam itu bermakna penolakan atau ketidaksetujuan secara tidak terang-terangan. Bila kesimpulan ini dapat dibenarkan, maka konsep ijma‘ sukuti dalam agama Islam yang diartikan sebagai kesepakatan atau persetujuan terhadap kondisi atau pendapat yang ditawarkan perlu dipertanyakan. Menurut saya, hal itu tak ubahnya seperti silent public opinion dalam masyarakat yang sebenarnya sarat dengan perbedaan-perbedaan pendapat tetapi tidak muncul ke permukaan karena adanya kendala-kendala kejiwaan yang memaksa orang-orang untuk diam atau tidak bersuara.
Opsi tidak tahu dalam jajak pendapat atau polling dan abstain dalam voting atau golput dalam pemungutan suara atau pemilihan umum pun, saya kira, tidak berbeda dengannya. Karenanya tidak bijaksana bila hal itu diartikan sebagai tidak setuju atau menolak.
Dari sisi lain, apakah sikap diam dalam konteks ijma’ sukuti, silent public opinion, dan sebagainya itu bisa diartikan sebagai ketidakjujuran atau bahkan kebohongan terselubung, barangkali perlu ditelaah lebih lanjut, setidak-tidaknya melalui wawancara individual atau, lebih baik lagi, melalui tatap muka empat mata, yang relatif lebih jujur dan tidak bersifat memaksa atau menyudutkan.
Diam dalam Islam
Islam memang tidak secara eksplisit mewajibkan atau mengharamkan orang untuk berbicara ataupun diam. Yang jelas Islam melarang orang untuk berkata bohong atau mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat, walaupun hanya sekedar bercanda atau untuk memancing tawa orang. Menurut Nabi Muhammad, berkata bohong adalah salah satu tanda kemunafikan. Karenanya Nabi Muhammad saw. menyuruh umatnya untuk berbicara yang baik dan jujur atau diam saja.
Namun demikian dalam konteks yang berbeda Nabi Muhammad “agak mencela” sikap diam umatnya, terutama dalam dua hal: (1) dalam menghadapi penguasa yang lalim, dan (2) dalam menghadapi kemungkaran yang terjadi dalam masyarakat. Nabi Muhammad menyatakan bahwa berbicara jujur di depan penguasa yang lalim adalah jihad paling berat, karenanya dalam hal ini umat Muslim tidak boleh diam saja. Sedangkan sikap diam umat terhadap kemungkaran beliau nilai sebagai indikasi bahwa iman mereka paling lemah.
Tiga Hikmah
Hasan Muhammad asy-Syarqawi, salah seorang pakar psikologi agama, dalam bukunya Nahwa ‘Ilmin-Nafsil-Islami (1979: 190), menyatakan bahwa ucapan dapat menjerumuskan orang ke dalam neraka, tetapi bila ucapannya baik justeru akan mengantarkannya ke surga. Hal itu tergantung pada baik-buruknya hati orang yang mengucapkannya itu. Bila hatinya baik, maka ucapannya pun akan baik, sebaliknya, bila hatinya buruk mata kata-kata yang diucapkannya pun akan buruk. Karenanya, menurut Asy-Syarqawi, diam itu sarat dengan hikmah; terutama dalam tiga hal: (1) sebagai jalan menuju kesehatan jiwa, (2) kesempurnaan akhlak, dan (3) kesempurnaan kemanusiaan. Melalui diam, orang dapat membersihkan batinnya dari berbagai nafsu dan penyakit kejiwaan, dan menghiasinya dengan berbagai hakikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan menyempurnakan sopan santun dalam peribadatannya. Demikian Asy-Syarqawi.
Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa berbicara dalam Islam tidak dilarang bahkan dalam kasus-kasus tertentu justeru dianjurkan, Namun pembicaraan yang diperbolehkan oleh Islam hanyalah pembicaraan yang baik-baik saja, bermanfaat dan tidak mengandung kebohongan. Setiap Muslim wajib menjaga lidahnya agar tidak terjerumus dalam ucapan-ucapan yang tidak baik, dan salah satu upaya untuk menjaga lidah adalah diam, meskipun dalam beberapa hal tertentu diam itu kurang disenangi oleh Islam.***
source : http://purnomotunggul.blogspot.com/p/islam.html
Ada pemetaan menarik yang dibuat oleh Ibn Rusyd tentang perbedaan pendapat ulama tentang kebebasan wanita dalam memilih pasangan yang dapat dirinci sebagai berikut:[1]
1. Para ulama sepakat bahwa untuk wanita janda diwajibkan ada persetujuannya.
2. Janda yang belum balig, menurut imam Malik dan imam Hanafi, wali boleh memaksanya untuk menikah, sedangkan menurut imam Syafi‘i wali tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya.
3. Mengenai gadis kecil para imam mazhab sepakat bahwa ia boleh dinikahkan tanpa persetujuannya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang siapa yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya. Menurut Syafi‘i yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya adalah bapak dan kakeknya, sedangkan imam Malik mengatakan yang boleh hanya bapaknya saja atau orang yang mendapat penyerahan dari bapak untuk melakukan akad itu jika calon suami telah ditentukan bapak, dan pendapat imam Hanafi adalah setiap orang yang mempunyai hak wali terhadap si gadis boleh menikahkanya walaupun tanpa persetujuannya, akan tetapi setelah dewasa si anak gadis mempunyai hak khiyar (memilih).
4. Ulama berbeda pendapat tentang persetujuan sendiri itu jika wanitanya gadis dewasa. Imam Malik dan imam asy-Syafi‘i berpendapat persetujuan hanya sekedar sunat, bahkan bapak sebagai wali bisa memaksa anak gadis untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, sedangkan menurut imam Hanafi harus ada persetujuan dari si gadis.
Berikut diuraikan lebih lanjut pendapat empat mazhab tentang pembahasan ini.
a. Mazhab Maliki
Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih pasangan (calon suami), imam Malik membedakan antara janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yaang belum dewasa yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak sebagai wali dengan wali di luar bapak. Bapak sebagai wali menurut beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya.[2]Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut imam Malik karena memang syara‘ mengkhususkan demikian, atau karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.[3]
Kemudian az-Zarqani menuliskan dua pandangan ‘Iyad tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis, walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya, kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya.[4] Kedua pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi[5]
الايم احق بنفسهامن وليها
Pendapat pertama, dengan mengambil mafhum mukhalafah dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan hadis ini dengan hadis Nabi:[6]
لانكاح الابوالي
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika membahas tentang persetujuan janda dalam perkawinannya, ulamamutaakhirin dalam mazhab Malik terpecah kepada tiga kelompok, pertama. bapak boleh menikahkanya tanpa persetujuannya apabila perceraiannya terjadi sebelum ia dewasa, ini adalah pendapat Asyhab. Kedua, bapak tetap boleh menikahkannya walaupun perceraiannya terjadi setelah ia dewasa, ini pendapat Sahnun. dan ketiga, bapak tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya baik perceraiannya terjadi sebelum atau sesudah ia dewasa, ini pendapat Abu Tammam.[7]
b. Mazhab Hanafi
Menurut Abu Hanifah, persetujuan wanita (calon istri) gadis atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.[8]
Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam perkawinan, menurut abu Hanifah adalah kasus di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak tidak menyetujui, yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, al-Khansa>’ menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta izin (persetujuan)?” al-Khansa’ menjawab “ saya tidak senang dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menetapkan perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda/berpesan “nikahlah dengan orang yang kamu senangi”.[9] al-Khansa’ berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa’, “nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat sebelumnya.[10]
Kasus al-Khansa’ ini menjadi salah satu dalil tidak adanya perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus tegas.[11]
Imam Hanafi dalam hal kebebasan wanita dalam memilih pasangan kelihatan lebih toleran.
Terbukti bahwa menurut beliau seorang wanita yang sudah balig dan berakal sehat boleh menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahal mis|il. Akan tetapi kedua syarat ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi yaitu wali boleh menentang perkawinan itu bahkan wali bisa meminta qadi untuk membatalkan perkawinan itu.[12]
c. Mazhab asy-Syafi‘i
Imam Syafi‘i membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama, gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak gadis. Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu Bakar yang menikahkan ‘Aisyah kepada Nabi, dan umur ‘‘Aisyah ketika itu baru sekitar tujuh tahun.
Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada mafhum mukhalafah hadis yang menyatakan “janda lebih berhak terhadap dirinya”. Menurut imam asy- Syafi‘i mafhum mukhalafah hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya[13], meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan si anak gadis, berdasarkan firman Allah:[14]
وشاورهم في الامر
Dari penjelasan asy-Syafi‘i, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis. Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan asy-Syafi‘i sendiri yang menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan ((فرض tetapi hanya sekedar pilihan ((اختيار.[15]
Adapun perkawinan seorang janda menurut beliau harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia nikahkan oeh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak disenangi ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu.[16] Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.ketetapan ini diperkuat hadis lain.[17] Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ((احق بنفسها berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuannya dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.[18]
d. Mazhab Hanbali
Dalam al-Mugni, Ibn Qudamah seorang ulama besar dari mazhab ini mengklaim, ulama sepakat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita itu senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Ibn Qudamah sendiri cendrung berpendapat, bapak berhak memaksa anak gadisnya baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu walaupun wanita tersebut tidak setuju.[19] Menurut beliau, dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah:[20]
واللائي يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلاثة اشهر واللائي لم يحضن
Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa ‘iddah seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid. Logika sederhana adalah ‘iddah muncul karena talak, dan talak muncul karena nikah.[21] Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fi‘li Nabi:[22]
عن عائشة قالت تزوجني النبي صلى اللهم عليه وسلم وانا بنت ست سنين وبنى بي وانا بنت تسع سنين
Menurut ibn Quda>mah, disamping sebagai dalil bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini juga menunjukkan tidak adanya permintaan izin dari Abu Bakr (bapak/wali) kepada ‘Aisyah.
Ibn Rusyd dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid, menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat para ulama tentang perlu tidaknya persetujuan wanita dalam perkawinannya bermuara pada ‘illat yang dipakai oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua ‘illat yang dipakai ulama sebagai dasar argumennya yang masing-masing ‘illat mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. ‘Illat yang dimaksud adalah kegadisan seorang wanita dan kedewasaannya.[23]
Ulama yang menggunakan ‘illat kedewasaan wanita sebagai dasar argumentasi, maka konsekwensi hukumnya adalah wanita dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah oleh siapa pun dan persetujuannyalah yang menentukan sah tidaknya suatu akad nikah.‘illat inilah yang digunakan oleh imam Hanafi.[24]
Ulama yang menggunakan ‘illat kegadisan wanita, maka konsekwensinya adalah gadis dewasa boleh dipaksa walinya (bapak) untuk menikah. Jadi persetujuannya bukanlah sesuatu yang menentukan. Imam Syafi‘i menggunakan‘illat ini.[25]
[1] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), II: 398-404
[2] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet I (Yogyakarta : Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 70
[3] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hlm. 407
[4] Ibid., hlm. 71
[5] lihat catatan kaki no. 1
[6] Abi ‘Isa Muh}ammad bin Sawrah, Sunan at-Tirmizi (Beirut: Dar al-Fikr, 1408/1988), III: 407, hadis nomor 1101, “Kitab an-Nikah”, “Bab Ma Ja'a illa bi Waliyyi", Sanad hadis ini marfu‘ muttasil, hadis dari ‘Ali bin Hujr diceritakan Syarik bin ‘Abdullah dari Abi Ishaq
[7] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hlm. 402
[8] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 75
[9] عن خنساء بنت خدام زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافاتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها Lihat catatan kaki no. 4
[10] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 77
[11] Ibid.
[12] Muhammad Jawad al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk.cet V (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), hlm. 345
[13] Hal ini didukung pernyataan ulama Syafi‘iyyah bahwa apabila bapak sebagai wali tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah memenuhi ketujuh syarat berikut: pertama, antara bapak dengan anak tidak ada permusuhan. Kedua, anatara si anak gadis dengan calon suaminya tidak ada permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’. Keempat, calon suami sanggup memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat ‘Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba‘ah (Beirut: Dar al-Afkar, t.t.), IV: 35
[14] ‘Ali Imran (3) : 159
[15] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 84
[16] عن خنساء بنت خدام زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافأتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها Lihat catatan kaki no. 4
[17] احق بنفسهامن وليها الايم .lihat catatan kaki no. 9
[18] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 85
[19] Ibid., hlm. 88
[20] At-Talaq (65) : 4
[21] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 89
[22] Imam an-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, cet V (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IX: 202, “Kitab an-Nikah}”, “Bab Tazwij al-Ab al-Bikr as-Sagirah,Sanad hadis ini marfu‘ muttasil, hadis diceritakan Yahya bin Yahya Abu Mu'awiyah dari Hisyam bin Urwah.
[23] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, hlm. 403
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
Langganan:
Postingan (Atom)